Salaf

Apa itu Salafy ?
MENGAPA PERLU MENGIKUTI MANHAJ SALAF ! ! !
Syaikh Salim Al-Hilali

Sebenarnya orang-orang yang berkiprah dalam dunia dakwah Islamiyah banyak sekali dan yang menantikan para pemuda “aktivis dakwah” lebih banyak lagi. Mereka semua sungguh-sungguh bekeja keras untuk memulai kehidupan yang Islami. Di tengah-tangah luapan gelombang dakwah yang sedang pasang ini, akan kita temukan adanya dua kelompok, yaitu kaum tua dan kaum muda.

Kaum tua telah puas degan hasil dakwah mereka. Mereka sendiri tidak ikut terjun ke medan dakwah. Adapun kaum muda, mereka menyingsingkan lengan, mengencangkan sarung dan meghentakkan kaki mereka di atas kendaraannya. Namun, yang disayangkan, kedua kelompok ini berada dalam kebingungan dan kebimbangan. Sehingga, adalah suatu keharusan yang tidak bisa ditawar lagi untuk segera ditampilkan gambaran Manhaj Salaf guna menyiapkan kehidupan Islami yag kokoh di atas Manhaj Nubuwwah.

Penyaringan terhadap segala hal yang bukan berasal dari Islam, baik dalam hal aqidah, ahkam (hukum-hukum) maupun akhlak adalah agar Islam kembali berseri, murni dalam naungan risalah sebagaimana keaslian risalah yang telah diturunkan kepada Muhammad salallahu ‘alaihi wa sallam. Ini untuk mendidik generasi muslim di atas Islam yang murni dengan tarbiyah imaniyyah (pendidikan keimanan) yang akan memberikan bekas yang mendalam. Yang demikian itulah manhaj dakwah Salafiyyah yang selamat dan Ath-Thaifah Al-Atsariyah (yaitu kelompok yang berpegang dengan pemahaman Rasulullah beserta para Shahabatnya) yang mendapatkan pertolongan dalam mengadakan perubahan.

Masalah pertama yang perlu kita bahas adalah : Mengapa harus mahaj Salaf ? Menjadi suatu keharusan mutlak bagi setiap muslim yang menginginkan kesuksesan dan merindukan kehidupan yang mulia, serta kemenangan di dunia dan akhirat, bahwa dalam memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih harus dengan pemahaman manusia terbaik yaitu para Shahabat dan tabi’in, serta siapapun yang mengikuti jalan mereka dengan baik hingga hari kiamat.

Ini karena tidak pernah tergambarkan sama sekali adanya sebuah fikrah, pemahaman dan manhaj Salaus Shalih. Oleh karena itu tidak akan pernah bisa baik kehidupan umat yang akhir ini kecuali dengan apa yang telah mejadikan baik generasi awal. Apabila kita teliti dengan seksama dalil-dalil dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah serta ijma’ dan qiyas maka bisa disimpulkan dari dalil-dalil tesebut tentang wajibnya memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam bimbingan manhaj Salafus Shalih, karena ini merupakan pemahaman yang disepakati kebenarannya sepanjang abad perjalanan dakwah ini.

Oleh karena itu tidak boleh bagi siapa saja sehebat apapun kedudukannya memahami Islam ini dengan selain pemahaman salaf. Dan siapapun juga yang membenci pemahaman salaf lalu menggantinya dengan bid’ah-bid’ahnya orang belakangan (orang-orang sesudah generasi salaf) yang diracuni dengan berbagai pemahaman yang membahayakan dan yang tidak selamat dari pemahaman asing, akan mengakibatkan tercerai-berainya kaum muslimin.
Ini adalah hal yang pasti terjadi dan tak bisa diingkari. Maka siapa saja yang mengikatkan diri dengan pemahaman bid’ahnya orang belakangan, dia bagaikan seseorang yang mendirikan bangunan di tepi tebing keruntuhan, di tepi jurang kehancuran, dan di lereng kebinasaan. Cobalah simak penjelasan dari dalil dan hujjah-hujjah berikut ini :
1. Sesungguhnya Salafus Sholih Radhiallahu ‘anhu telah nyata kebaikan mereka baik dalam nash maupun istimbath: “Dan generasi yang terdahulu dan pertama-tama (masuk Islam) diantara kaum muhajirin dan anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah telah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-selamanya. Itulah kemenangan yang agung.”(At Taubah:100)

Dengan dalil ayat ini dapat diambil pemahaman bahwa Allah Sang Pencipta telah memuji terhadap mereka yang mengikut kepada sebaik-baik manusia. Telah diketahui bahwa apabila sebaik-baik manusia itu mengatakan suatu perkataan, kemudian ada seseorang yang mengikuti mereka , maka dia wajib untuk mendapatkan pujian dan berhak untuk mendapatkan keridhaan. Kalau seandainya sikap ittiba’ mereka tidak membedakan dengan selain mereka (yang tidak ittiba’) maka dia tidaklah berhak mendapatkan pujian keridhaan. Siapakah sebaik-baik manusia itu? Mereka adalah para Shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an : “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih merekalah sebaik-baik manusia.”(Al-Bayyinah : 7)
2. Allah berfirman : “Kalian adalah umat terbaik yang telah ditampilkan untuk manusia, kalian telah beramar makruf dan bernahi munkar dan beriman kepada Allah.” (Ali Imran: 110). Dari sini kita mendapatkan petunjuk bahwa Allah telah menetapkan keutamaan mereka atas segala umat, dan gelar seutama-utama umat ini mengharuskan mereka istiqamah dalam segala hal. Disamping itu mereka sesungguhnya memang tidak pernah menyimpang dari cahaya yang terang bernderang (Al-Haq) ini.

Sungguh Allah telah menyaksikan bahwa mereka telah beramar makruf dan bernahi munkar dengan penuh keimanan serta mengharap pahala-Nya. Keadaan seperti ini mengharuskan permahaman mereka menjadi hujjah bagi orang yang datang sesudahnya hingga Allah mewarisi bumi ini beserta apa yang ada di atasnya (hari kiamat,pen). Apabila konsekuensi tidak seperti itu, berarti amar ma’ruf dan nahi munkar yang mereka lakukan keliru (tidak dipuji dan diterima Allah).

Cobalah fikir dan renungkan. Maka jika ada yang berkata :”Ini (gelar sebaik-baik umat,pen) bersifat umum dalam umat ini, tidak hanya terbatas pada generasi Shahabat saja,” Saya katakan bahwa mereka (para Shahabat) adalah obyek pembicaraan yang pertama, dan orang yang mengikuti mereka dengan baik tidak masuk dalam pembicaraan di atas, kecuali jika ada penjelasan dengan qiyas atau dalil lain sebagaimana dalam dalil pertama.

Secara umum – dan ini yang benar- Shahabat adalah yang pertama kali masuk dalam obyek pembicaraan karena merkelah yang pertama kali mengambil ilmu dan amal langsung dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tanpa perantara, dan merekalah yang mendapat kabar gembira dengan wahyu ini. Oleh karena itu, merekalah yang pertama masuk dalam pembicaraan ayat ini dibandingkan yang lain disebabkan sifat-sifat yang telah diberikan Allah kepada merkea secara sempurna yang tidak diberikan kecuali kepada mereka (para Shahabat). Pun kecocokan sifat dengan pensifatan Allah adalah merupakan bukti bahwa mereka lebih berhak mendapat pujian dari pada yang lain.
3. Maka dari itu Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah generasiku (Shahabat), kemudian orang-orang sesudah mereka (Tabi’in), kemudian orang-orang sesudah mereka (Tabi’ut Tabi’in). Sesudah itu akan datang kaum yang kesaksian mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului kesaksiannya.”(HR Bukhari IV/189, Muslim VII/184-185, Ahmad I/424 dll)

Apakah kebaikan yang diterapkan kepada para sahahabat yang dimaksud adalah dalam hal warna kulit mereka? Atau jasad mereka, harta mereka, tempat inggal mereka, atau…? Tidak diragukan lagi bagi orang yang memiliki akal yang sempurna, yang memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan benar, bahwa bukan itu semua yang dimaksudkan di sini, sama sekali bukan, karena Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya Allah tidak memandang bentuk tubuh kalian namun Dia hanya melihat kepada hati-hati dan amal-amal kalian.”(HR Muslim, lihat syarah Nawawi XVI/121)

Dan juga, karena kebaikan dalam Islam ukurannya adalah takwanya hati dan ammal shalih, sebagaimana firman-Nya : “Sesungguhnya yang termulia di antara kalian adalah yang paling takwa.” (AlHujurat: 13). Allah telah melihat kepada hati-hati para Shahabat Radhiallahu ‘Anhum, maka Allah temukan hati mereka adalah sebaik-baik hati-hati para hamba-Nya setelah hati Rasul-Nya salallahu ‘alaihi wa sallam.

Abdullah bin Mas’ud mengatakan: “Sesungguhnya Allah telah melihat kepada hati-hati para hamba-Nya maka Allah temukan hati Muhammad salallahu ‘alaihi wa sallam adalah hati terbaik diantara hamba-hamba-Nya. Maka Dia memilihnya dan diutus-Nya dengan risalah, kemudian Dia melihat kepada hati-hati para hamba-Nya setelah nabi-Nya. Maka Dia dapatkan hati-hati para Shahabatlah hati-hati terbaik di antara para hamba-Nya. Maka Dia jadikan mereka sebagai pendamping Nabi-Nya yang merkea berperang di atas agama-Nya (Dikeluarkan oleh Ahmad I/379, Dishahihkan oleh Hakim dan disepakati Imam Ad-Dzahabi).

Maka Allah berikan kepada para Shahabat ini pemahaman dan ilmu yang benar, yang ilmu tersebut tidak didapatkan pada generasi sesudahnya. Dari Abu Juhifah, dia berkata: “Aku berkata kepada Ali: ‘Apakah kamu memiliki kitab? Atau pemahaman yang diberikan seorang muslim (selain nabi), atau apa yang ada di lembaran-lembaran ini…?’ Jawab Ali :’Tidak kecuali yang kumiliki adalah Kitabullah’.”(HR Bukhari /I-204 Fathul Bari). Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa kebaikan yang dipuji dalam sabda Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam adalah kebaikan dalam hal pemahaman dan manhaj. Oleh karena itu pemahaman Shahabat terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah hujjah bagi orang-orang yang datang sesudah mereka hingga akhir umat ini.
4. Akan lebih jelas lagi, Allah berfirman : “Dan demikianlah kami telah menjadian kamu sebagai umat pertengahan agar kalian bisa menjadi saksi bagi manusia dan Rasul juga menjadi saksi atas kalian.”(Al-Baqarah:143). Sungguh Allah Azza wa Jalla telah menjadikan mereka manusia terbaik dan adil (jujur). Mereka adalah semuila-mulia umat, paling jujur perkataan, perbuatan serta niatnya. Dengan demikian mereka berhak menjadi saksi bagi manusia. Allah menyebut-nyebut, meninggikan derajat, memuji mereka dan menerima mereka dengan baik dan karena kesaksian yang diterima oleh Allah adalah kesaksian dengan ilmu dan kejujuran, maka Allah kabarkan dengan Al-Haq yang disandarkan kepada ilmu-Nya.

Allah berfirman: “Kecuali yang bersaksi dengan Al-Haq dan mereka mengetahui.”(Az-Zukhruf: 86). Apabila syahadah mereka diterima di sisi Allah maka tidak diragukan lagi bahwa pemahaman mereka terhadap Dien ini adalah hujjah bagi orang yang sesudah mereka, sebab kalau tidak sebagai hujjah berarti persaksian mereka tidak benar. Padahal ayat ini telah menetapkannya secara mutlak. Dan umat ini tidaklah memberikan katebelece (kepercayaan) kejujuran terhadap suatu generasi secara mutlak kecuali terhadap generasi para Shahabat.

Sesungguhnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan yang mengikuti manhaj Salaf serta Ahlul Hadits telah memberi kesaksian tentang kejujuran mereka secara mutlak dan umum. Oleh sebab itu, mereka mengambil riwayat dan sekaligus penjelasan makna hadits dari mereka (para Shahabat) tanpa kecuali. Pada orang selain Shahabat, tidak diberikan kesaksian tentang kejujuran mereka kecuali bagi yang memang benar-benar diakui kepemimpinannya dan kejujurannya, dan keduanya (kepemimpinan dan kejujuran) tidak diberikan kepada seseorang kecuali apabila dia berjalan di atas jejak para Shahabat Radhiallahu anhum. Dengan demikian, jelaslah bahwa pemahaman Shahabat adalah hujjah bagi selain mereka dalam mengarahkan nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan dari sinilah perintah Allah Ta’ala untuk mengikuti jalan mereka.
5. Allah berfirman : “Dan ikutilah jalannya orang-orang yng kembali kepada-Ku”(Luqman:15) Semua Shahabat Radhiallahu anhum adalah orang-orang yang kembali (dengan ikhlas dan taat) kepada-Nya dan Allah telah memberi hidayah pada baiknya perkataan dan shalihnya amal perbuatan mereka dengan firman-Nya : “Yang mendengarkan perkataan lalu mereka mengikuti apa yang paling baik dantaranya (Al-Qur’an). Mereka itulah orang-orang yan telah diberi Allah petunjuk dan merekalah orang-orang yang berakal.”(Az-Zumar:18)

Dari sini diambil pengertian, bahwa wajib bagi kita untuk mengikuti jalan mereka dalam memahami Dienullah, baik dalam memahami Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Allah mengancam orang-orang yang mengikuti selain jalannya para Shahabat dengan neraka Jahannam dan Jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali.
6. Allah berfirman : “Dan barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalannya kaum mukminin, Kami biarkan dia leluasa bergelimang dalam kesesatan Jahannam dan Jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali.”(An-Nisa:115)

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah telah mengancam kepada orang yang mengikuti selain jalannya kaum mukminin (yaitu para Shahabat, karena mereka adalah orang mukminin yang haq). Maka mengikuti jalannya kam mkminin (para Shahabat) dalam memahami syari’ah adalah hal yang wajib dan menyelisihnya adalah merupakan kesesatan.
7. Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu, dia berkata : “Kami shalat Maghrib bersama Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam kemudian kami berpendapat: “Kita duduk saja hingga shalat Isya bersama Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam” maka kamipun duduk. Kemudian keluarlah Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata : “Kalian masih di sini?”, maka kami mengatakan:”Ya wahai Rasulullah, kami telah shalat (Maghrib) bersamamu kemudian kami berpendapat untuk duduk hingga kami shalat Isya bersamamu,” maka dia berkata: “Kalian memang baik dan kalian benar,”dia (Abu Musa) berkata: “kemudian dia (Rasulullah) menengadahkan wajahnya ke langit dan lama sekali dia seperti itu lalu mengatakan: “Bintang-bintang itu adalah pengaman bagi langit, apabila bintang-bintang itu sirna maka kehancuran akan menimpanya, dan aku adalah pengaman bagi para Shahabatku, dan para Shahabatku adalah pengaman bagi umatku. Apabila mereka telah pergi maka akan datang sesuatu yang telah dijanjikan kepada umatku.”(Dikeluarkan oleh Muslim, lihat syarh Nawawi XVI/82)

Sungguh Rasulullah telah membuat perumpamaan bagi para Shahabatnya radhiallahu ‘anhum untuk orang-orang Islam setelah mereka seperti kedudukan dia kepada para Shahabatnya dan seperti kedudukan bintang-bintang terhadap langit. Permisalan Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam ini memberi pengertian yang sangat jelas tentang wajibnya mengikuti pemahaman para Shahabat Radhiallahu anhum dalam memahami Dien ini seperti kembalinya umat ini kepada Nabi mereka salallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi telah mejelaskan Al-Qur’an dan para Shahabat radhialllahu anhum pun telah menukil penjelasannya secara utuh untuk disampaikan kepada umat ini.

Rasulullah salallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah berbicara dengan hawa nafsunya. Apa saja yang berasal darinya adalah Ar-Rusyd (Al-Haq) dan Al-Huda (petunjuk). Para Shahabat semuanya adil (jujur). Mereka tidak berbicara kecuali dengan jujur dari tidak beramal kecuali dengan haq.

Dan demikian juga bintang-bintang telah Allah ciptakan sebagai senjata pelempar bagi para setan ketika mereka mencuri berita, Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit dunia (yang terdekat) dengan hiasan yaitu bintang-gemintang. Dan kami telah memelihara (dengan sebenar-benarnya) dari setiap setan yang sangat durhaka, setan-setan itu tak dapat mendengar (pembicaraan) para malaikat dan mereka dilempari dari segala penjuru untuk mengusir mereka dan bagi merekalah siksaan yang abadi, namun barangsiapa (diantara mereka yang mencuri-curi pembicaraan), maka ia akan dikejar oleh suluh api yang sangat menyala.”(Ash-Shafat:6-10).

Allah Ta’ala juga berfirman: “Dan sungguh Kami telah menghiasi langit dunia dengan pelita-pelita (bintang-bintang) dan Kami jadikan bintang-bintang itu sebagai alat pelempar bagi setan dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang meyala-nyala.”(Al-Mulk:5)

Demikian juga para Shahabat Radhialllahu anhum, mereka adalah hiasan umat ini. Pemahaman, ilmu dan amal mereka adalah benteng dari takwilnya orang-orang bodoh dan benteng dari berbagai aliran Ahlul Batil serta tahrifnya (penyelewengannya) orang-orang yang ghuluw (berlebih-lebihan). Seperti itu pula, sesungguhnya bintang-bintang itu adalah menara bagi penduduk bumi untuk memberi petunjuk kepada mereka dalam kegelapan, baik di laut maupun di darat. Allah berfirman : “..dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (petunjuk jalan), dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapatkan petunjuk.”(An-Nahl:16).

Dan Allah berfirman: “Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang mengetahui.”(Al-An’am:97) demikian pula keadaan para Shahabat. Mengikuti mereka akan memberi kesalamatan dari kegelapan syahwat (kebrutalan hawa nafsu) dan syubhat (bahaya pengkaburan), dan siapapun yang berpaling dari pemahaman Shahabat maka dia berada dalam kesesatan dimana kegelapan demi kegelapan semakin melilitnya sehingga kalau dia mengulurkan tangannya hampir tidak akan terlihat.

Dengan pemahaman Shahabat, kita membentengi Al-Qur’an dan As-Sunnah dari berbagai bid’ah setan dari jenis manusia ataupun jin. Mereka hanya menginginkan timbulnya fitnah dan menghendaki takwilnya untuk merusak apa yang dimaksudkan Allah dan Rasul-Nya. Maka pemahaman Shahabat radhiallahu anhum adalah benteng dari segala keburukan dan benteng dari sebab-sebab yang menimbulkannya. Kalau pemahaman para Shahabat tidak bisa dijadikan hujjah maka mustahil pemahaman gernerasi setelah para Shahabat menjaga pemahaman para Shahabat dan menjadi benteng baginya.

Apabila pengkhususan dan pembatasan ini ditolak yaitu wajibnya memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih dengan pemahaman -maka akan semakin jauhlah seorang muslim dari “kebenaran yang mutlak” dan (yang lebih buruk lagi) berbagai firqah dan partai akan menjadi terhalang untuk kembali ke jalan yang benar.

Sesungguhnya Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah merupakan penangkal berbagai pemahaman yang menyimpang seperti : Muta’zilah, Murji’ah, Jahmiyah, Syi’ah, Tassawuf, Sufi, Khawarij, Bathiniyah,dan selain mereka, maka tidak bisa tidak harus ada pemisah. Maka jika ada yang bertanya: “Memang tidak diragukan lagi bahwa pemahaman Rasul Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan pemhaman para Shahabat adalah manhaj yang tidak bisa dimasuki oleh kebatilan darimanapun datangnya, namun apa dalilnya bahwa manhaj salafi adalah merupakan pemahaman Rasul Shalallahu ‘alaihi wa sallam beserta para Shahabatnya?”

Saya katakan bahwa jawabannya ada beberapa sisi : (a). Sesungguhnya berbagai pemahaman (firqah-firqah) yang telah saya sebutkan di atas, munculnya adalah setelah masa kenabian dan Khulafaur Rasyidin dan tidak ada satupun dari mereka (firqah-firqah) yang menyandarkan permahamannya kepada para Shahabat, bahkan mereka menentang para Shahabat. Maka jelaslah bahwa kelompok yang tidak berjalan di atas jalan (pemahaman) kelompok-kelompok di atas dan tidak mengikuti thariqah mereka, maka dia berada pada pokok yang asli (di atas pemahaman Rasul dan para Shahabat). (b). Tidak akan kita temukan dalam berbagai kelompok tadi yang sesuai dengan pemahaman Shahabat radhiallahu anhum kecuali hanya Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan dari para pengikut Salafus Shalih dan Ahlul Hadits.

Menepis Syubhat (Kerancuan) Terhadap Salafiyah
Oleh Adam al-Atsariy
Di tengah gelombang kebid\’ahan dan kesyirikan yang menerpa umat sekarang ini. Di saat kebingungan dan ketimpangan semakin membelit kaum mudanya. Ahlul ahwa\’ (para pengikut hawa-nafsu) tidak henti-hentinya melontarkan kerancuan dan keraguan. Bahkan tidak jarang melemparkan tuduhan serta fitnah yang tidak berdasar ke tengah-tengah umat terhadap kemulian dakwah Salafiyah yang penuh barakah ini dan para dainya. Semua itu ibarat riak-riak kecil, bila tidak segera ditepis akan menjadi gelombang ganas yang membahayakan lagi mengkhawatirkan.
Salah seorang murid senior Muhadits abad ini (Imam al-Albani Rahimahullah), yaitu Syaikh Muhammad bin Musa Nashr telah mengumpulkan beberapa syubhat yang dilontarkan oleh musuh da\’wah Salafiyah, kemudian beliau iringi dengan bantahannya.
Pada kesempatan ini kami sampaikan sebagian dari bantahannya tersebut dan kami pilih yang sekiranya mendesak untuk diketahui.
Syubhat Pertama:
Salafiyah adalah sebuah penasaban yang bid’ah!
Jawaban Syaikh Abu Anas Muhammad bin Musa Nashr:
“Sebagian musuh dakwah Salafiyah menganggap bahwa menisbatkan diri kepada Salaf merupakan pengelompokan bid\’ah. Hal itu sebagaimana menamakan diri dengan: Ikhwanul Muslimin, Hizbut Thahrir, dan Jamaah Tabligh. Mereka tidak tahu, bahwa Salafiyah adalah sebuah penasaban terhadap generasi terbaik. Yaitu generasi sahabat dan tabi\’in, yang telah dipersaksikan oleh Rasulullah SAW dengan kebaikan. Juga merupakan penyandaran terhadap umat yang ma\’sum (terjaga dari kesalahan), yang tidak akan bersepakat di dalam kesesatan, umat yang telah diridhai oleh Allah. Dia berfirman:
Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya. (al-Bayyinah: 8)
Sungguh jauh berbeda, antara orang yang menisbatkan diri kepada individu yang tidak ma\’sum , bersikap loyal, dan fanatik terhadap seluruh perkataan dan pendapatnya, dengan orang yang menisbatkan diri kepada umat yang selamat dari penyimpangan dan kesesatan di saat munculnya banyak perselisihan.
Umat ini akan terpecah menjadi 73 kelompok. Semuanya di dalam neraka kecuali satu. Siapa dia wahai Rasulullah? Jawab Rasulullah SAW : “Mereka adalah orang-orang yang semisal dengan apa yang aku dan sahabatku berada di atasnya [HR. Abu Dawud no. 4596, Tirmidzi no. 2640, Ibnu Majah no. 3991, Ahmad 2/332]
Itulah Salafiyah yang mengambil Islam secara murni, bersih dari segala bid’ah. Islam yang dibawa Rasulullah SAW, para sahabatnya dan umat terbaik sesudah mereka.
Bagaimana kalian membolehkan “jamaah-jamaah” Islam menisbatkan diri terhadap individu-individu yang tidak ma’sum, lalu pada waktu yang sama kalian melarang orang-orang menasabkan kepada umat yang ma’sum dari segala kesesatan. Menasabkan diri kepada Salafush Shalih, dari kalangan sahabat, tabi’in, dan para imam (ulama) rabbani yang jauh dari hizbiyah- hizbiyah (fanatik terhadap kelompok-kelompok) pemecah belah umat?
Guru kami, al-Albani telah berkata, membantah hizbiyah : “Kami terang-terangan memerangi hizbiyah- hizbiyah tersebut, karena hal tersebut sebagaimana firman Allah:
Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing). (al-Mu\’minun: 53)
Padahal tidak ada hizbiyah sama sekali dalam Islam. Berdasarkan nash al-Qur\’an, hizb hanya ada satu, (yakni hizbullah).
Ketahuilah sesungguhnya hizb Allahlah yang beruntung. (Mujadalah: 22)
Hizbullah adalah jamaah Rasulullah dan hendaknya seseorang itu berada di atas manhaj para sahabat, hal ini membutuhkan ilmu terhadap Al-Kitab dan As-Sunnah. *)*)[Lihat Manhaj Salafi Inda al-Albanny hal 13-19 dan Limadza Ikhtartu Manhaj Salaf hal 34].
Beliau (Al-Albani) pernah juga ditanya:
“Apakah Salafiyah itu dakwah hizbiyah, golongan, madzhab ataukah kelompok baru dalam Islam?”
Beliau menjawab:
“Kalimat “Salaf” itu terkenal di dalam bahasa Arab dan syar\’i. Telah shahih dari Nabi n , ketika akan wafat beliau berkata kepada Fatimah, putrinya:
Bertaqwalah kepada Allah dan bersabarlah. Aku adalah sebaik-baik salaf bagimu.
Banyak sekali para ulama\’ yang mengunakan istilah “Salaf”. Satu contoh, ketika mereka menggunakannya untuk menghancurkan bid\’ah:
Setiap kebaikan adalah di dalam mengikuti salaf, dan setiap kejelekan adalah di dalam bid\’ahnya khalaf.
Tetapi ada sebagian orang yang mengaku berilmu mengingkari penisbatan terhadap Salaf, dengan anggapan hal itu tidak ada sandarannya. Dia mengatakan: “Seorang muslim tidak boleh mengatakan: “Saya Salafi”. Sepertinya dia mengatakan: “Seorang muslim tidak boleh mengatakan saya adalah pengikut manhaj Salaf as-shalih dalam aqidah, ibadah, peri-laku dan lainnya.”
Tidak diragukan lagi, pengingkaran ini membawa konsekwensi dia berlepas diri dari Islam yang shahih. Islamnya para Salaf as-Shalih, yang dipimpin oleh Rasulullah n , sebagaimana telah diisyaratkan oleh hadits mutawatir dalam “Shahihain” dan lainnya, Nabi n bersabda:
Sebaik baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi setelahnya, kemudian generasi setelahnya.
Seorang muslim tidak boleh berlepas diri dari penisbatan kepada Salafush shalih. Orang yang mengingkari penisbatan yang mulia ini, bukankah dia juga menisbatkan diri kepada madzhab-madzhab yang ada, baik dalam aqidah, maupun fiqih? Bisa jadi dia seorang Asy\’ariy [Orang yang mengaku mengikuti aqidah Abul Hasan Al-Asy\’ariy-Red] atau Maturidy [Orang yang mengaku mengikuti aqidah Al-Maturidiy-Red]. Bisa jadi pula seorang Hanafi [Orang yang mengaku mengikuti fiqih Abu Hanifah-Red] , Syafi\’i [Orang yang mengaku mengikuti fiqih imam Muhammad bin Idris Asy-Sya\’ifi-Red], Maliki [Orang yang mengaku mengikuti fiqih imam Malik bin Anas-Red] atau Hambali [Orang yang mengaku mengikuti imam Ahmad bin Hambal-Red], yang tergolong Ahlus Sunnah wal Jamaah. Padahal orang yang menisbatkan kepada madzhab Asy\’ariy atau salah satu dari 4 madzhab (fiqih) yang ada, dia telah menisbatkan diri kepada individu yang tidak ma\’sum, walaupoun ada juga paraulama yang benar. Tetapi apakah dia mengingkari penisbatan kepada individu-individu yang tidak ma’sum ini? [Lihat Manhaj Salafi \’Inda Syeikh Al-Albani, hal 13-19 dan Limadza Ikhtartu Manhaj Salafi, hal. 34.]
Dan inilah perkataan ahlul ilmi tentang bolehnya menisbatkan diri kepada Salafush as-Shalih:
Ibnu Manzhur berkata: “Termasuk arti Salaf adalah: pendahulumu, yaitu bapak-bapakmu dan kerabatmu yang punya umur dan keutamaan lebih di atasmu. Oleh karena itu generasi pertama dari kalangan tabi\’in dinamakan “Salafush Shalih.”[Lihat Lisanul Arab 9/159].
Rasulullah SAW pernah berkata kepada putrinya, Zainab, ketika akan meninggal:
Susullah Salaf kita yang shahih, yaitu Utsman bin Mazh\’un. [HR. Ahmad no. (1/335); Ibnu Sa\’ad (1/398-399) didhaifkan oleh al-Albani dalam Silsilah Dha\’ifah no. 1715].
Al-Ghazali berkata: “Yang saya maksud dengan Salaf adalah madzhab sahabat dan tabi\’in.”[Lihat Iljamul \’Awam, hal: 62].
Syaikhul Islam berkata: “Tiada aib bagi orang yang menampakkan madzhab salaf dan menisbatkan kepadanya, bahkan penisbatan tersebut wajib diterima menurut kesepakatan (ulama\’), karena madzhab salaf adalah madzhab yang haq.”[Lihat Majmu Fatawa 4/149].
Al-Baijuri berkata: “Yang dimaksud dengan istilah Salaf adalah orang yang terdahulu dari para nabi, tabi\’in dan tabiut tabi\’in.” [Lihat “Jauhat at-Tauhid” hal. 111].
Syubhat II:
Salafiyun Iebih mementingkan perkara-perkara furu\’ (cabang, remeh) ketimbang perkara Ashl (pokok).
Jawaban Syaikh :
“Ini merupakan kedustaan serta bualan mereka. Sesungguhnya da\’wah Salafiyah -alhamdulillah- mengimani Islam seluruhnya, tanpa pilih-pilih, berdasarkan firman Allah:
Wahai orang-orang yang beriman masuklah kalian ke dalam Islam secara kaffah. (Al- Baqoroh : 207)
Dan juga dengan firman Allah yang lain, yang mencela orang yang mengambil/mengamalkan agama hanya menurut selera hawa nafsu.
Apakah kalian mengimani sebagian dari kitab, dan mengkufuri sebagiannya? (Al-Baqarah 85)
Kewajiban terpenting dalam da\’wah Salafiyah adalah tauhid, menghambakan makhluk kepada Rabbnya, mentarbiyah (membina) umat di atas manhaj Rasul, dan memberikan perhatian terhadap sunnah-sunnah yang sudah mulai ditinggalkan lalu menghidupkannya kembali. Semua itu merupakan bagian dari program dan manhaj da\’wah Salafiyah. Tetapi sebagian orang-orang yang menyelisihi da\’wah Salafiyah ini ada yang menganggap sunnah-sunnah Rasul , seperti: siwak, memanjangkan jenggot, meninggikan kain di atas mata kaki, sutrah dan lainnya, sebagai perkara “qusyur” (remeh/kulit).
Sangat buruk kalimat yang keluar dari mulut-mulut mereka, tidaklah yang mereka ucapkan melainkan kedustaan. (al-Kahfi: 5)
Orang-orang yang bingung itu tidak tahu, bahwa Islam itu semuanya lubab (inti), sehingga persepsi dan pikiran mereka yang busuk. menganggapnya sebagai “qusyur”.
Padahal semua yang dibawa oleh wahyu (Al-Kitab dan As-Sunnah) adalah haq dan lubab (inti), orang yang memperolok-olok sesuatu darinya maka dia kafir. Sedangkan orang yang menyebut sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah dengan “qusyur” (kulit, hal remeh) yang dapat dibuang, maka dia berada di pinggir jurang yang dalam.
Syubhat III:
“Dakwah Salafiyah tidak memberikan perhatian terhadap masalah-masalah politik, bahkan meninggalkannya sama sekali.”
Syaikh menjawab:
“Ini juga merupakan kedustaan yang nyata. Karena menurut Salafiyin, perkara politik termasuk dalam urusan dien. Tetapi politik yang mana?
Apakah politik koran-koran, majalah-majalah, dan kantor-kantor berita milik Yahudi dan Nashari? Ataukah politik Rasulullah SAW dan para sahabatnya?
Apakah politik demokrasi, yang mereka dengungkan dengan semboyan orang-orang kafir: “Dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat?”
Ataukah politik pemeluk Islam yang berprinsip: “Hukum Allah, untuk Allah, berpijak pada Kitabullah dan Sunnah Rasulnya, melalui musyawarah yang dibenarkan oleh Islam?”
Dan apakah politik yang kebenaran diukur dengan banyaknya jari yang terangkat (voting) di Majelis Perwakilan Rakyat, meskipun terkadang voting tersebut menambah kuatnya kemungkaran atau kesyirikan?
Ataukah politik sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah k . Dia berfirman:
Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. (Yusuf: 15)
Salafiyin tidak ingin meraih al-haq dengan cara yang batil. Karena menurut mereka, sebuah tujuan tidaklah menghalalkan segala cara. Mereka tidak akan berjuang di atas “punggung-punggung babi”, tidak akan minta pertolongan kepada kaum musyrikin, dan selamanya tidak akan berkumpul dengan orang-orang munafiq. Mereka menolak jumlah banyak yang bersifat seperti buih, yang tidak menyandang sifat syar\’i sedikitpun.
Syubhat IV:
“Salafiyun bersikap mudahanah terhadap penguasa, tidak bicara al-haq secara terang-terangan di hadapan mereka.”
Jawaban Syaikh:
“Di mana Salafiyun yang menempati jabatan-jabatan tinggi, berupa jabatan Menteri, Hakim atau Mufti di negara-negara Islam? Mencari jabatan sepert itu adalah monopoli ahli bid\’ah selama puluhan tahun. Andaikata Salafiyun mau cari muka dan menjual ilmu, niscaya mereka akan meraih apa yang telah diraih selain mereka. Tetapi Salafiyun memandang itu semua sebagai kemunafikan. Bahkan mereka tidak memandang bolehnya memasuki Majlis Perwakilan Rakyat, agar tidak menjadi jembatan untuk Undang-Undang buatan manusia dan hukum-hukum Thaghut, dan tidak bergelimang dalam kebatilan.
Kalau ada oknum yang menasabkan diri kepada Salafiyah, lalu dia memuji-muji penguasa dengan dusta, mencari muka dengan cara berbasa-basi dan bersikap nifaq, maka hanyalah mewakili dirinya sendiri. Dakwah Salaf serta Salafiyun berlepas diri dari apa yang dia lakukan. Kewajiban Salafiyun terhadap orang seperti itu adalah memberikan nasehat dan mengingatkan, kemudian memboikot dan memberikan peringatan (jika dia enggan, pen).
Salafiyun adalah orang-orang yang membicarakan al-haq secara terang-terangan penuh, dengan hikmah dan nasehat yang baik. Tanpa mengobarkan pengkafiran, menyatakan orang lain durhaka, dan pemberontakan terhadap penguasa.
Dakwah Salaf mengajak untuk memberikan nasehat terhadap penguasa, serta zuhud terhadap apa-apa yang ada pada mereka, yang berupa harta, jabatan, dan kehormatan. Juga mengajak untuk tidak mengobarkan (emosi) terhadap mereka, tidak rakus terhadap singgasana mereka, tidak memberontak melawan mereka. Kecuali jika nampak kekufuran yang nyata pada mereka, dengan terpenuhinya syarat-syarat serta tidak adanya penghalang-penghalang kekafiran. Tetapi hal itu ditetapkan oleh ulama, bukan oleh orang-orang hina yang mengikuti setiap orang yang memanggil.
Syubhat V:
“Salafiyin suka berlebih-lebihan….!”
Jawaban Syaikh:
“Adapun kalau yang dimaksud berlebih-lebihan adalah bersungguh-sungguh di dalam al-haq, melaksanakan kawajiban-kewajiban, dan menghidupkan sunnah-sunnah yang sudah mulai ditinggalkan, maka ini adalah haq, bukan aib bagi seorang muslim. Sedangkan yang merupakan aib adalah kalau seseorang meremehkan perkara-perkara agama, membolehkan hal-hal yang diharamkan, serta mengerjakan hal-hal yang melanggar syari\’at.
Maka apakah memelihara jenggot yang merupakan Sunnah merupakan sikap berlebihan? Apakah memendekkan kain di atas mata kaki sampai pertengahan betis yang merupakan Sunnah merupakan sikap berlebihan? Apakah mengharamkan jabat-tangan dengan wanita bukan mahram, mengharamkan lagu-lagu dan musik, termasuk berlebih-lebihan? Padahal ulama\’ dahulu dan sekarang telah berfatwa dengan hal-hal di atas!
Itu semua hanyalah tuduhan yang dibuat-buat agar manusia menjauhi para da\’i Al-Kitab dan As-Sunnah pengikut Salaful Ummah.
Salafiyah tidaklah menyia-nyiakan syari\’at ini sedikitpun, tidak meremehkan Sunnah, apapun bentuknya. Sebagaimana hal itu dilakukan oleh harikiyin dan hizbiyin yang menuduh Salafiyin suka mencari-cari masalah ganjil yang mereka namai dengan “qusyur” (perkara kulit) untuk meremehkannya.
Keberuntunganlah bagi orang-orang yang asing, yang telah diberitakan oleh Nabi , dengan sabdanya:
Mereka adalah orang-orang yang memperbaiki sunnah-sunnah Rasulullah yang telah dirusak oleh manusia. [HR. Tirmidzi (5/10), Ahmad (4/73), Thabrani di Mu\’jamul Kabir 17/16]
Syubhat VI:
“Salafiyin tidak menaruh perhatian terhadap masalah jihad.”
Syaikh menjawab:
“Jihad merupakan puncak syari\’at. Ayat-ayat dan hadits-hadits yang menganjurkannya banyak sekali dan sudah terkenal. Tetapi jihad mempunyai kaedah-kaedah, syarat-syarat, dan adab-adab. Salafiyun tidak akan berangkat jihad di bawah bendera jahiliyah, karena jihad tidaklah disyari\’atkan kecuali untuk menegakkan syari\’at Allah. Dia berfirman:
Sehingga tidak terjadi fitnah, dan agama seluruhnya untuk Allah. (al-Anfaal: 39)
Untuk berjihad harus ada imam, harus ada bendera Islam. Dan harus ada pembinaan rabbaniyah seputar jihad. Harus ada bekal dan kesiapan. Menurut Salafiyin, jihad haruslah berdasarkan ilmu, keyakinan dan sasaran yang jelas. Jika bendera telah tegak dan tujuan (sasaran) juga jelas, maka Salafiyin tidak akan ketinggalan. Bumi Palestina, Chehcnya, Afghon, Balkan, Kasmir menjadi saksi bagi mereka di sisi Allah . Mereka mendorong peperangan (jihad) dengan pemahaman seperti ini.

Syubhat VII:
“Dakwah Salafiyah memecah belah umat dan membikin fitnah.”
Jawab Syaikh:
“Kenapa dakwah Salaf dituduh demikian? Karena dakwah ini memisahkan keburukan dari kebajikan, padahal itu merupakan tujuan Allah dan Rasul-Nya.
Agar Allah memisahkan antara kejelekan dengan kebaikan. (al-Anfaal: 37)
Allah juga berfirman:
Katakanlah: “Kebenaran itu dari Rabb kalian, barangsiapa yang ingin, berimanlah dan siapa yang ingin, kufurlah. (al-Kahfi: 29)
Ketika seorang da’i Salafi memerangi bid’ah dan ahli bid’ah, langsung dituduh dengan tuduhan-tuduhan yang keji tersebut. Karena memang di antara prinsip Ahlul Bid’ah adalah mengumpulkan orang dengan membabi buta dengan dalih menjaga persatuan kaum muslimin. Mereka tidak peduli bentuk dan jenisnya, tetapi yang penting kwantitas, bagaimana itu bisa terwujud. Karena itu kamu lihat mereka berbasa-basi di hadapan ahlul bid’ah dan ahli kesesatan. Tetapi mereka tidak mau berdamai dengan Salafiyin. Bahkan mereka memusuhi, mencela, membenci, dan membesar-besarkan kesalahan Salafiyin.
Kami akan senantiasa ingat ucapan salah satu pembesar Ikhwanul Musimin di kota Zarqo’ yang membela Khumaini dan revolusinya serta membantah Salafiyin yang memperingatkan dari firqah Syiah, condong kepadanya. Dia berkata: “Muslim Syiah yang menegakkan syari’at Allah, lebih utama daripada Sunni Salafi yang tidak menegakkan syari’at, mereka itu perusak.”
Lalu dia memberikan tuduhan-tuduhan bahwa Salafi membuat fitnah dan memecah belah umat. Maka saya katakan: “Perhatikanlah mereka telah terjatuh ke dalam fitnah, tidaklah mereka mengetahui bahwa Syiah adalah Yahudinya umat ini. Syi’ah adalah firqah yang paling buruk. Karena berbagai perkara yang ada pada mereka, seperti: bid’ah, kesesatan, merubah kitab Allah, mencela sahabat Rasulullah , dan menuduh Aisyah ummul mukminin berzina, padahal Allah telah mensucikannya dari atas langit ke tujuh, Maha tinggi Allah dengan ketinggiannya yang Agung dari apa yang diucapkan orang-orang dhalim.
Demikian beberapa syubhat diantara banyak syubhat yang dilontarkan oleh sebagian orang kepada dakwah salafiyah dan bantahannya. Mudahan-mudahan Allah memudahkan bagi kita untuk mengenal yang hak sebagai sebuah kebenaran dan semoga Allah memberikan kekuatan kepada kita untuk melaksanakan nya. [tambahan dari redaksi]
(Dirangkum oleh Adam al-Atsariy dari kitab “Min Ma\’alim Manhaj Nabawi” oleh Syaikh Doktor Abu Anas Muhammad bin Musa An-Nashr)
[Sumber : Majalah As Sunnah Edisi 04/VI/1423 H- 2002 M]

Published on October 8, 2007 at 5:54 am  Leave a Comment  

The URI to TrackBack this entry is: https://miqrosoft.wordpress.com/salaf/trackback/

RSS feed for comments on this post.

Leave a comment